WELCOME TO CONSUMEDIA INDONESIA BLOGSITE


Kamis, 23 Februari 2012

Pemerintah Sambut Baik Pembahasan Lagi RUU Jaminan Produk Halal

Pemerintah menyambut baik pembahasan kembali Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) yang sesungguhnya sangat ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Islam. Pemerintah meyakini bahwa negara wajib menjamin kehalalan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologis, dan produk rekayasa genetik yang diatur dengan undang-undang. 

"Sejak tahun 2005 kami menunggu pembahasannya, sudah tujuh tahun," ujar Direktur Penerangan Agama Islam (Penais) Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Kemenag) Ahmad Jauhari. Produk halal tersebut tersusun atas unsur yang halal untuk dimakan, diminum, dipakai, atau digunakan setelah melalui proses produk halal sesuai dengan syariah.

Seperti tertuang dalam siaran pers Bidang Pemberitaan dan Media Visual Sekretariat Jenderal DPD, Jauhari menjadi narasumber bersama Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Syahid) Ahmad Mukri Adji, saat rapat dengar pendapat (RDP) Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/2). Membahas RUU JPH, acara dipimpin Ketua Komite III DPD Hardi Selamet Hood bersama dua wakilnya, Istibsjaroh dan Muhammad Syibli Sahabuddin.

Pengaturan jaminan produk halal menjadi agenda rapat kerja (raker) antara Kemenag dan Komisi VII DPR pada 2 Februari 2005. Mengenai pokok substansinya, Kemenag mengakui bahwa RUU JPH usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki kesamaan gagasan dengan RUU JPH usul inisiatif pemerintah. Yang berbeda menyangkut sertifikasi halal sukarela (voluntary) atau keharusan (mandatory), posisi Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan lembaga penyelenggaraan jaminan produk halal.

Mengenai kelembagaan JPH dalam RUU JPH versi DPR, pemerintah membentuk Badan Nasional Penjamin Produk Halal (BNP2H) sebagai badan penyelenggaraan jaminan produk halal. Pembentukannya merupakan kesepakatan rapat Panitia Kerja (Panja) Harmonisasi RUU JPH Komisi VII DPR pada 21 September 2011 karena Komisi VII DPR merekomendasikan tiga alternatif, yaitu Lembaga Jaminan Produk Halal (LJPH) sebagai lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) yang memiliki perwakilan di daerah; LJPH bersifat tetap dan independen atau tidak berhubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintah lainnya tetapi memiliki perwakilan di provinsi dan kabupaten/kota; serta LPJH sebagai unit kerja Kemenag.

Ahmad Jauhari menyatakan, pembentukan badan penyelenggaraan jaminan produk halal memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, luwes atau tidak birokratis karena penetapan keputusannya tidak melibatkan struktur lain di luar badan. Kekurangannya, pembentukan badan menambah jumlah. Karena badan bentukan pemerintah telah berjumlah 82 maka pemerintah cq Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) tidak lagi membentuk badan. "Badan baru justru menjadi beban tambahan anggaran dan belanja negara, juga menghambat koordinasi antara badan dan pemerintah," ujarnya.

Selain itu, jika badan bertanggung jawab langsung kepada presiden maka tugas menteri menjadi terabaikan atau tidak berpengaruh. Pemerintah mengusulkan badan penyelenggaraan jaminan produk halal dalam struktur kementerian atau badan tersebut bertanggung jawab kepada menteri. "Setidaknya level eselon II kementerian," katanya.

Ada banyak contoh badan dalam struktur kementerian seperti Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) di bawah Kementerian Keuangan (Kemkeu), Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) di bawah Kementerian Perdagangan (Kemdag), dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) di bawah Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo).

Mengenai struktur BNP2H dalam RUU JPH versi DPR, BNP2H terdiri atas unsur instansi pemerintah di bidang pengolahan dan pengawasan. Ahmad Jauhari menyatakan, pemerintah mengusulkan agar unsur instansi pemerintahnya Kemenag, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemkop UKM), Kementerian Perdagangan (Kemdag), Kementerian Perindustrian (Kemperin), dan Kementerian Pertanian (Kemtan).

RUU JPH versi DPR menyebut fungsi BNP2H antara lain pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang penyelenggaraan JPH, sertifikasi, registrasi, dan lebelisasi produk halal, serta sosialisasi dan penyadaran produk halal kepada masyarakat dan pelaku usaha. Wewenangnya antara lain menerapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria produk halal, menerbitkan dan mencabut sertifikat halal, nomor registrasi halal, dan label halal produk, serta mengumumkan berkala daftar produk halal.

Menyinggung hasil raker 2 Februari 2005, Ahmad Jauhari menjelaskan, tahun 2006 Kemenag menyusun RUU JPH beserta naskah akademiknya. Setelah konsultasi publik di beberapa wilayah dan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) mengharmonisasi drafnya, Menteri Agama (Menag) menyampaikan RUU JPH kepada Presiden 14 September 2007.

Pada 6 Februari 2008 Presiden menunjuk Menag sebagai vocal point yang mewakili pemerintah selama pembahasan RUU JPH. Pemerintah dan Komisi VIII DPR membahasnya dalam raker 6 Agustus 2009. Sayangnya, raker tidak menyepakai beberapa pokok substansi yang kontroversial, utamanya kelembagaan JPH dan sertifikasi halal.

Tanggal 29 September 2009, rapat Panja Harmonisasi  RUU JPH menyepakati RUU JPH termasuk list Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2009-2014. Penyusunan RUU JPH menjadi usul inisiatif DPR. Tanggal 10 Januari 2012, Presiden menugaskan Menag, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, Menpan, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mewakili pemerintah selama pembahasan RUU JPH. (dbs)

Related post:
- Kadin Tolak Kewajiban Sertifikasi Halal
- Tak Semua Produsen Makanan, Farmasi dan Kosmetika Setuju RUU JPH
- RUU Jaminan Produk Halal 'Mandek' di DPR
- Opini: Apakah Obat Wajib Halal?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...