WELCOME TO CONSUMEDIA INDONESIA BLOGSITE


Kamis, 22 November 2012

Mimpi Swasembada Pangan

Belakangan ini, harga daging merangkak naik. Kenaikannya dianggap tidak masuk di akal, sehingga memicu banyak protes dari para pedagang daging. Kejadian yang tidak jauh berbeda pernah menimpa komoditas kedelai beberapa waktu lalu. 

Sementara kita mencanang target swasembada daging pada 2014, justru saat ini kita mengalami persoalan pasokan dan berakibat pada lonjakan harga. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Sebenarnya, kegeraman yang sama juga terjadi soal swasembada pangan pada umumnya. Bagaimana mungkin, Indonesia yang pernah dikenal sebagai lumbung padi dunia, kini kekurangan pasokan dan harus impor? Soal garam isunya juga sama. Sepertinya mustahil bagi Indonesia dengan garis pantai terpanjang di dunia justru mengimpor garam?

Meski agak berbeda, tetapi isunya sama juga mengenai energi. Bagaimana mungkin Indonesia yang kaya akan gas justru kekurangan energi berbasis gas? Itulah sederet anomali yang terus terjadi di negeri tercinta ini. 


Jika disimak kasus per kasus, mungkin akar persoalannya akan mulai terungkap. Soal daging misalnya, sudah sejak tahun lalu, pemerintah menargetkan pengurangan impor daging, terkait dengan target swasembada daging 2014. Tahun ini (2012), ada pengurangan cukup signifikan impor daging dibandingkan tahun lalu.

Penurunan kuota impor menjadi salah satu kinerja Kementerian Perdagangan. Jadi, turun tidaknya kuota impor itu akan menjadi indikator kinerja (key performance indicator/KPI) lembaga itu. Masalahnya, swasembada daging bukanlah semata-mata soal menurunkan impor, lebih dari itu adalah peningkatan kapasitas produksi di dalam negeri.

Soal peningkatan kapasitas produksi daging domestik bukanlah hal sederhana. Tentu melibatkan banyak unsur kementerian dan lembaga.  Dalam tatanan birokrasi yang ada, di sinilah letak kompleksitasnya, tatkala KPI-nya ada di banyak tempat.

Dalam hal ini Kementerian Pertanian yang membawahi peternakan tentu memiliki tanggung jawab yang besar. Sayangnya instrumen yang dimilikinya relatif masih terbatas. Kementerian ini sudah memberikan banyak fasilitas kredit lunak untuk program pembibitan dan penggemukan sapi. Namun, ada berbagai persoalan yang begitu kompleks di lapangan.

Bibit lokal tidak lagi mampu bersaing, mengingat kualitas dan daya tahannya, sehingga diperlukan impor bibit. Persoalan bibit bukan satu-satunya. Masalah lahan, infrastruktur, kesehatan ternak, dan sebagainya menjadi kendala serius.

Intinya, berternak sapi di dalam negeri sangat tidak menguntungkan dan lebih murah mengimpor daging. Namun, tentu saja kita tidak bisa hanya cari gampangnya saja. Ekonomi harus digerakkan dengan visi ke depan. Swasembada pangan adalah visi yang ideal. 


Masalahnya, jika hal itu hanya sebatas slogan saja, atau bahkan menjadi kampanye politik saja. Maka kenyataan di lapangan akan menunjukkan hal yang berbeda.

Hal serupa pernah terjadi dalam kasus garam. Mengendalikan impor sama sekali tidak menyelesaikan masalah, mengingat produksi domestik tidak memadai. Swasembada pangan adalah dua sisi mata uang. Mengurangi impor hanyalah sebagian persoalan saja. 


Sementara persoalan lainnya yang jauh lebih kompleks adalah meningkatkan kapasitas produksi domestik.

Parahnya, begitu terkait soal produktivitas atau daya saing, kita begitu lemah. Dan nampaknya, kita begitu tak berdaya menghadapi persoalan produktivitas dan daya saing. Persoalan infrastruktur sudah begitu jelas, namun tetap saja perkembangannya tidak menggembirakan. (dbs)
Comments
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...