WELCOME TO CONSUMEDIA INDONESIA BLOGSITE


Sabtu, 22 Oktober 2011

Kadin Tolak Kewajiban Sertifikasi Halal

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menolak rencana pemerintah untuk mewajibkan sertifikasi halal bagi produk makanan, minuman, farmasi, dan kosmetik karena baik pengusaha maupun lembaga sertifikasi halal serta pengawas dinilai belum siap memenuhi aturan itu.

Rancangan Undang Undang Jaminan Produk Halal akan berdampak negatif bagi dunia usaha, terutama bagi masyarakat yang menjalankan usaha industri kecil menengah dengan kemampuan permodalan dan akses kepada informasi yang terbatas, kata Wakil Ketua Kadin Bidang Moneter, Fiskal dan Kebijakan Publik, Hariyadi Sukamdani.

Menurut dia, pelaku usaha khususnya kalangan menengah dan kecil belum siap menyesuaikan proses produksi serta menyediakan sumber daya untuk memenuhi ketentuan itu. Selain itu, lembaga sertifikasi dan pengawasan juga dinilai tidak akan siap untuk melakukan sertifikasi terhadap berbagai produk pangan, obat, kosmetik, dan produk lainnya yang harus disertifikasi halal.

Dalam 11 tahun terakhir telah terbit sekitar 8.000 sertifikat halal yang sebagian besar dimiliki oleh industri besar dan menengah.

Kalau diwajibkan, semua produk harus disertifikasi lagi, bisa dibayangkan biayanya dan antreannya seperti apa. Nanti bisa menimbulkan label palsu, jika terjadi antrean panjang, ujarnya.
RUU Jaminan Produk Halal saat ini masih dalam pembahasan Panitia Kerja (Panja) DPR dan ditargetkan selesai pada akhir periode DPR di bulan September 2009.

Untuk itu, Kadin mendesak agar dilakukan pengkajian yang lebih mendalam dan menyeluruh dengan melibatkan seluruh komponen dunia usaha dan pemerintah, bukan hanya Departemen Agama dan MUI namun juga BPOM, Departemen Kesehatan, Departemen Koperasi dan UKM, Departemen Perdagangan, serta Departemen Perindustrian. Kami minta tidak dimandatorikan, tetapi lebih baik sukarela saja, tutur Hariyadi.

Implementasi Tidak Mudah
Ketua Bidang Regulasi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Franky Sibarani, menambahkan kewajiban sertifikasi halal bukan hanya menimbulkan biaya pembuatan sertifikat saja, namun juga mengubah seluruh proses bisnis.

Peralatan produksi harus disesuaikan agar memenuhi standar halal. Produsen juga harus memiliki karyawan yang kompeten untuk mengawasi proses produksi agar masuk kriteria halal. Ini tidak mudah, perlu pendidikan dan training, katanya.

Selain itu, bahan baku produksi juga harus disertifikasi halal agar produknya menjadi halal. Menurut Franky, hal itu tidak mudah dilakukan karena untuk produk makanan ada sekitar 15 jenis bahan baku, sedangkan untuk kosmetik bisa terdiri dari 50-100 jenis bahan baku. Apa kita siap untuk mengubah itu semua. Buat apa membuat Undang Undang kalau kita belum siap, tegasnya.

Suara keberatan bukan hanya datang dari produsen makanan dan minuman, namun juga produsen kosmetik dan obat-obatan. Perlu dikaji dampak RUU ini bila diwajibkan. Tanpa ada kejelasan dan kejelasan infrastruktur sertifikasi nanti akan muncul kebingungan dan malah menghambat pertumbuhan industri kita. Hanya industri yang besar yang bisa tumbuh, kata Ketua Bidang Perdagangan Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia (Perkosmi) Bambang Sumaryanto.

Saat ini terdapat 700 perusahaan kosmetik dan sebagian besar (60-70%), diantaranya industri kecil dan hanya 8% yang masuk kategori industri besar.

Beberapa produsen memang sudah ada yang masuk pasar muslim dan secara sukarela mendaftarkan produknya. Ini sudah baik karena memanfaatkan halal sebagai keunggulan bersaing. Rata-rata bahan baku kosmetik banyak yang impor, kalau harus ada sertifikasi halal bahan baku akan panjang prosesnya, tambahnya.

Pendapat Kadin Tentang Pengaturan Jaminan Produk Halal : 
- Sertifikasi halal dilakukan dengan prinsip sukarela.
- Biaya sertifikasi halal harus tidak memberatkan pelaku usaha, efisien dan tidak dikaitkan   
  dengan jumlah produksi
- Pencantuman keterangan halal dicetak langsung dan merupakan satu kesatuan yang tidak 
  terpisahkan dari label produk.
- Sinkronisasi dengan peraturan perundangan yang berlaku
- Jaminan kerahasiaan informasi formula produk
- Kemudahan proses sertifikasi termasuk penerapan asas resiprositas dengan lembaga di luar negeri.
 
Related Post:

Kamis, 20 Oktober 2011

Kopi Indonesia Ditengah Dinamika Pasar Kopi Global

Masyarakat penikmat kopi di dunia tidak pernah meragukan cita rasa kopi Indonesia yang memiliki aroma dan rasa kopinya yang kaya selera. Mutlak kita pun tidak meragukan kopi produksi dalam negeri telah menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Label Indonesia sebagai produsen terbesar kopi dunia sudah jelas. Masuk peringkat ke 4 setelah Brasil, Vietnam dan Kolumbia, dengan sumbangan devisa cukup besar. 

Areal produksi kopi di Indonesia diperkirakan sekitar 1,3 juta hektare, yang tersebar dari Sumatra Utara, Jawa dan Sulawesi. Kopi jenis Robusta umumnya ditanam petani di Sumatra Selatan, Lampung, dan Jawa Timur, sedangkan kopi jenis Arabika umumnya ditanam petani di Aceh, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Bali dan Flores.

Produksi  kopi Indonesia saat ini mencapai sekitar 650 ribu ton per tahun. Sebagian besar dari  jumlah itu  sampai saat ini diekspor ke berbagai negara di dunia seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Italia dan Singapura. Jumlahnya  sekitar 500 ribu ton per tahun. 

Ekspor dari Indonesia ini relatif kecil dibanding kebutuhan kopi dunia yang mencapai sekitar 6 juta ton per tahun. Meski demikian, kopi hasil produksi para petani di Indonesia itu sangat diminati di pasaran dunia karena memiliki mutu yang cukup tinggi.

Produktivitas kopi nasional masih rendah dan sangat jauh jika dibandingkan dengan produktivitas kopi di Vietnam yang mencapai 3 ton per hektare.

Coffee Market Overview Sept 2011
Di Indonesia, produktivitas kopi Robusta lebih tinggi dari produktivitas kopi Arabika yang akhir ini mulai banyak digemari petani Indonesia. Permintaan dunia yang tinggi terhadap kopi Arabika juga telah ikut mendorong Indonesia untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kopi Arabika ini, yang secara rata-rata memiliki harga yang lebih tinggi.

Harga kopi Robusta dan Arabika di tingkat global mengalami kenaikan sangat signifikan dalam tiga tahun terakhir. Pada transaksi April 2011 harga kopi Robusta tercatat US$ 259 per ton, sangat jauh dibanding dengan harga rata-rata pada 2009 yang hanya US$ 165 per ton.

Demikian pula, harga kopi Arabika yang tercatat telah melampaui US$ 660 per ton, suatu lonjakan tinggi dibandingkan dengan harga rata-rata pada 2009 yang hanya US$ 317 per ton. Dengan kinerja ekspor yang mencapai 300 ribu ton saja, maka devisa yang dapat dikumpulkan Indonesia mampu mencapai US$ 77,7 juta.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI)   Pranoto Soenarto memperkirakan konsumsi kopi nasional bisa naik 20% pada tahun ini. Tentunya  membuat  optimis upaya peningkatan produksi kopi nasional   menjadi produsen utama kopi di dunia.

Mengingat, Brasil dan Vietnam masih mengandalkan peningkatan kualitas produk, jadi belum fokus untuk menggenjot produksi. "Saat ini, permintaan kopi di dunia tinggi. Harganya juga mulai tinggi. Seandainya 10% saja penduduk Indonesia minum kopi hingga tiga cangkir per hari, produksi kita habis diserap lokal,” kata Pranoto, dalam seminar Commodity Price Outlook 2012.

Pranoto menerangkan program peningkatan produksi dengan pengembangan lahan, harus difokuskan kepada petani. Sehingga, bisa menikmati pertumbuhan pasar kopi dunia.  "Kalau bisa, industri-industri perusahaan kopi skala besar-menengah tidak usah investasi di lahan lagi. Kita ajukan penambahan lahan petani saja. Jadi, industri di dalam negeri membeli dari petani," ujar Pranoto yang disambut tepuk tangan peserta seminar.

|  next page  |

Kopi Indonesia Ditengah Dinamika Pasar Kopi Global (2)

AEKI mencatat, saat ini, ada sekitar lima perusahaan pengolah kopi skala besar, yakni PT Santos Jaya Abadi, PT Nestle Indonesia, PT Torabika Eka Semesta, PT Aneka Coffee Industri, dan PT Sari Incofood Corp. Skala menengah diantaranya adalah, PT Ayam Merak, PT Inbraco, PT Bola Dunia, PT naga Sanghie, dan PT Tri Menggolo Dento. 

Produk hilir olahan dari biji kopi yang saat ini dikembangkan di Indonesia diantaranya adalah untuk jenis kopi bubuk, permen, kopi instan bubuk dan siap saji, dan bahan baku industri makanan seperti biskuit.  Di sisi lain, AEKI berharap,  pemerintah mulai mengkaji kemungkinan untuk membatasi kebebasan trader asing membeli kopi langsung ke petani.

Ulah para trader atau pedagang asing acap kali dinilai merugikan pengusaha kopi nasional. Banyak dari mereka yang langsung membeli komoditas kopi di tingkat petani.  Apalagi, kini kopi indonesia menjadi rebutan para pembeli di pasar internasional.

Perilaku trader asing sangat mengganggu iklim bisnis dalam negeri. Biasanya, trader melakukan 'jemput bola' dengan membeli kopi di tingkat petani, sehingga tanpa melalui jalur perusahaan lokal. "Mereka (trader asing, Red) tidak perlu menyewa gudang maupun office, dari situ nereka tidak mengeluarkan modal.

Tentu itu merugikan, karena cost of fund murah kalau dibandingkan eksporter nasional yang menanggung biaya tinggi. Akan lebih baik kalau mereka bekerja sama dengan eksporter nasional," papar Pranoto.

AEK1 mengeluhkan dominasi pedagang asing yang menguasai perdagangan kopi di dalam negeri dengan volume mencapai 60% dari total produksi 560.000 ton pada tahun lalu. Tekanan pedagang asing tersebut menyebabkan pedagang lokal semakin sulit bersaing mendapatkan kopi dari petani.

"Mereka (pedagang asing) lebih kompetitif, karena suku bunga pinjaman di luar negeri lebih rendah dibanding dengan suku bunga di dalam negeri. Suku bunga di luar negeri hanya 2%, kita bayar bunga masih di atas 10%, sehingga pedagang asing berani membeli dengan harga lebih tinggi" ujarnya.

Sementara itu Executive Vice President PT Aneka Coffee Industry Moenardji Soedargo mengakui adanya dominasi pedagang asing dalam perdagangan kopi di dalam negeri, karena telah ada peraturan dari pemerintah yang mengatur perdagangan kopi.

"Tapi yang jelas iya, terjadi ketimpangan dalam arti biaya operasi. Perusahaan asing menggunakan sumber dana pembiayaan internasional yang jauh lebih murah dan efisien, sedangkan biaya operasional di dalam negeri ditopang dengan pembiayaan yang lebih mahal" ujar Moenardji. 

Menurutnya telah menjadi permasalahan klasik selama ini untuk itu diperlukan kemampuan pedagang lokal dalam menyiasati persaingan dengan pedagang asing. "Kembali pada bagaimana kiat berdagangnya. Faktor ketimpangan pembiayaan salah satu faktor saja," ujar dia. 

Diprediksi Pasokan Kopi Langka
United States Department of Agriculture memproyeksikan produksi kopi dunia pada periode 2011/2012 turun 2,1% akibat penurunan panen di Brasil yang merupakan negeri penghasil kopi terbesar. Berdasarkan laporan bertajuk Coffee World Markets and Trade yang dirilis departemen AS tersebut, produksi komoditas bahan minuman tersebut pada periode 2011/2012 hanya 135 juta bag.

Pada tahun lalu, berdasarkan data yang dipublikasikan kemarin, produksi kopi di seantero dunia mencapai 137,9 juta bag. Setiap bag sama dengan 60 kg atau 120 pounds. Penurunan tersebut karena tanaman kopi di Brasil mulai memasuki siklus turun produktivitas.

Pada tahun depan, negeri di Amerika Latin ini diperkirakan hanya akan menghasilkan 49,2 juta bag kopi, turun 9,7% dibandingkan dengan pencapaian pada periode yang sama tahun lalu. Sebaliknya, permintaan dunia akan komoditas yang mengandung kafein tersebut diyakini akan bertumbuh 1,1% menjadi 133,957 juta bag. Khusus di AS, permintaan kopi akan bertumbuh 0,8% menjadi 24,15 juta bag.


Moenardji  menuturkan inti permasalahan yang dihadapi adalah peningkatan konsumsi dunia yang sangat tinggi. "Sekarang konsumsi [kopi] dunia sekitar 7,8 juta ton pada tahun lalu. Padahal, pada 15 tahun lalu hanya  4,8 juta ton. Jadi memang terjadi pertumbuhan [konsumsi kopi) yang cukup besar," katanya.

previous  |  next page  |

Kopi Indonesia Ditengah Dinamika Pasar Kopi Global (3)

Ke depan, dipastikan konsumsi kopi terus meningkat dan tuntutan kualitas juga akan terus meningkat dan dikhawatirkan akan terjadi kekurangan pasokan. "Itu menjadi sesuatu yang harus disikapi dan diwaspadai," kata dia.

Inti dari konsferensi kopi internasional belum lama ini yaitu masalah ketatnya pasokan dan konsumsi yang terus meningkat. International Coffee Organization (1CO), katanya, meminta negara produsen kopi untuk meningkatkan produksi sekaligus kualitas kopi.

Meningkatkan produksi untuk mengamankan jaminan pangsa pasar, katanya, negara produsen kopi harus mulai menggalakkan peningkatan produksi di dalam negeri. "Sambil tetap mengisi pasar ekspor.

Sebagai perlindungan sehingga tidak semata-mata mengandalkan pasar ekspor, tetapi juga harus meningkatkan pasokan di dalam pasar domestic,” ungkap Moenardji.

Jika bergantung penuh pada pasar ekspor, terjadi gejolak ekonomi di negara tujuan, kinerja ekspor akan terganggu sebagaimana yang terjadi tahun lalu. Moenardji optimistis dapat meningkatkan konsumsi kopi di dalam negeri mengingat pasar dalam negeri sangat potensial dan konsumsi domestik meningkat. "Produsen harus meningkatkan produksi kopi dan juga peningkatan kualitas. Ini penting, karena prospek kebutuhan akan kopi ini sangat besar baik di pasar ekspor maupun di dalam pasar domestik," katanya.

Dijelaskan  harga kopi robusta lebih murah dibandingkan dengan kopi Arabika, kendati volume Arabika di pasar dunia mencapai 70%, sedangkan kopi robusta hanya 30%. Berbeda dengan kondisi di Indonesia, justeru produksi kopi robusta mencapai 80%, sedangkan arabika hanya 20% dari total produksi kopi. 

Tantangan Mendatang 
AEKI menyimpulkan kondisi terkini perkopian di dalam negeri yang sedang menghadapi empat tantangan utama ditengah persaingan di pasar global yang makin ketat.

Tantangan, adanya perubahan yang fundamental pada sektor pertanian internasional yang menuntut adanya pembangunan ekonomi domestik tumbuh lebih stabil guna menghadapi lingkungan ekonomi internasional yang berubah, karena pengaruh liberalisasi.

Perubahan terjadi pada permintaan masyarakat yang menuntut kualitas tinggi, kuantitas besar, ukuran seragam, ramah lingkungan, kontinuitas produk dan penyampaian secara tepat waktu, serta harga yang kompetitif. Dari sisi penawaran yang terkait dengan produksi, perlu diperhatikan masalah pengurangan luas lahan produktif, perubahan iklim yang tidak menentu akibat fenomena  El-Nino dan La-Nina serta pemanasan global, adanya penerapan bioteknologi dalam proses produksi dan pasca panen, dan aspek pemasaran.

Yang tak kalah penting adalah tantangan dalam menghasilkan produk kopi dan olahannya berdaya saing kuat, baik di pasar domestik maupun internasional yang membutuhkan pengetahuan secara rinci terkait preferensi konsumen yang makin berkembang, termasuk tuntutan konsumen yang makin tinggi pada informasi nutrisi serta jaminan kesehatan dan keamanan pada setiap produk pertanian.

Terakhir adalah kemunculan negara-negara kompetitor yang menghasilkan produk sejenis seperti, Vietnam dan India yang semakin mempersulit pengembangan pasar kopi, baik di negara-negara tujuan ekspor tradisional ke Amerika Serikat, Jerman dan Jepang maupun negara-negara tujuan ekspor baru.

Dari tantangan diatas masih tersedia peluang-peluang untuk pengembangan perkopian Indonesia, sebagai berikut; 

Pertama, permintaan produk-produk kopi dan olahannya masih sangat tinggi, terutama di pasar domestik dengan penduduk yang melebihi 200 juta jiwa merupakan pasar potensial. 

Kedua, peluang ekspor terbuka terutama bagi negara pengimpor wilayah nontradisional seperti Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tenga dan Eropa Timur. Walaupun perdagangan ke Timur Tengah masih sering terjadi dispute payment. 

Ketiga, kelimpahan sumberdaya alam dan letak geografis di wilayah tropis merupakan potensi besar bagi pengembangan agribisnis kopi. Produk kopi memiliki sentra produksi on-farm, yang hanya membutuhkan keterpaduan dengan industri pengolahan dan pemasarannya. 

Keempat, permintaan produk kopi olahan baik pangan maupun non pangan cenderung mengalami kenaikan setiap tahun, sebagai akibat peningkatan kesejahteraan penduduk, kepraktisan dan perkembangan teknologi hilir. Kelima, tersedianya bengkel-bengkel alat dan mesin pertanian di daerah serta tersedianya tenaga kerja. Seperti alat pemecah biji kopi, alat pengupas kulit kopi, dan lantai jemur. (dbs)

previous  |

Minggu, 14 Agustus 2011

Swasembada Daging Butuh Tiga Juta Ekor Sapi Potong

Kementerian Pertanian menyatakan untuk mencapai swasembada daging, Indonesia membutuhkan setidaknya 2,5 juta-3 juta ekor sapi potong jantan. 

Menteri Pertanian Suswono mengatakan data sementara sensus sapi belum memastikan jumlah sapi jantan potong dari total populasi sapi nasional 14,43 juta ekor. Karena itu, revisi target swasembada daging dari tahun 2014 menjadi tahun 2012 belum bisa dipastikan.
 
Suswono mengatakan hasil sensus sapi dan kerbau nasional masih harus dipetakan dengan jelas untuk mengetahui kepastian umur dan jenis kelamin sapi. Sampai saat ini, sensus dari Badan Pusat Statistik belum memberi gambaran jumlah sapi jantan, sapi betina, dan anak sapi.

Detail hasil sensus sapi baru dapat diketahui paling cepat tiga bulan setelah Badan Pusat Statistik selesai melakukan sensus. “Makanya sulit untuk mengatakan kalau Indonesia bisa swasembada daging tahun depan,” katanya.

Joni Liano, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia, memperkirakan jumlah sapi jantan potong hanya sekitar 2% atau 2,14 juta dari total populasi sapi nasional. 


Suswono memperhitungkan dengan asumsi konsumsi daging per kapita Indonesia sebesar 1,7 kilogram per tahun, dibutuhkan 2,5 juta-3 juta ekor sapi potong jantan. Angka itu semakin meningkat jika konsumsi masyarakat naik seiring peningkatan populasi dan tingkat pendapatan penduduk.

Indonesia juga membutuhkan tujuh juta ekor sapi betina, di mana dari jumlah tersebut harus ada lima juta ekor sapi yang siap bereproduksi. Syarat ini penting agar produksi sapi potong terus berlanjut dan mencukupi kebutuhan di tahun-tahun mendatang.

Menurut Suswono, definisi swasembada bisa terjadi jika 90% kebutuhan daging dalam negeri dapat terpenuhi dari sapi lokal. Dalam road map swasembada daging, impor sapi akan dibatasi menjadi 86 ribu ekor dan impor daging 31.200 ton pada 2014. Tahun ini, jumlah impor sapi mencapai 600 ribu ekor dan kuota impor daging 72 ribu ton.

Soehadji, Ketua Dewan Daging, sepakat jika swasembada daging membutuhkan setidaknya tiga juta ekor sapi potong jantan dengan memperhatikan keseimbangan suplai dan permintaan. Pemerintah juga diminta tetap memperhatikan keberlanjutan produksi dengan mempertimbangkan tingkat kelahiran dan kematian sapi.

Sebelumnya, Prabowo Respatiyo Caturroso, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, optimistis target swasembada daging dapat tercapai tahun depan. Dia mengatakan hasil sensus dapat diterima karena memenuhi ketentuan kaidah statistik dan data populasi sapi potong dapat dipastikan.

Atas dasar itu, pemerintah akan merevisi road map swasembada daging melalui penurunan atau penghentian impor sapi dan daging. Jika populasi sapi potong mencukupi kebutuhan, pemerintah berencana membatasi impor sapi dan daging sesuai angka swasembada, yakni 86 ribu ekor dan 31.200 ton.

Teguh Boediyana, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia, mengatakan melihat hasil sementara sensus, Indonesia semestinya sudah bisa swasembada jika 90% kebutuhan daging berasal dari sapi lokal. Dengan revisi itu dia berharap peternak lokal semakin bersemangat mencukupi kebutuhan daging nasional berbasis sapi lokal.

Masih Dibutuhkan Impor
Thomas Sembiring, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia, menilai positif jika kebutuhan daging dapat dicukupi dari pasokan sapi lokal. Namun, impor daging tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pelaku industri, restoran, dan hotel atau konsumen yang memiliki standar khusus.

“Mutu daging dari sapi lokal tidak dapat menyamai sapi impor. Harga daging impor berkisar Rp 500 ribu sampai satu juta per kilogram,” kata dia.

Di semester II, kuota impor daging tersisa 32 ribu ton untuk. Thomas memperkirakan jumlah ini hanya akan cukup sampai Oktober karena permintaan daging menjelang puasa dan lebaran akan tinggi dan menyerap pasokan daging impor.


Kementerian Pertanian menjamin kebutuhan daging tahun ini akan tercukupi karena jumlah sapi yang dipotong mencapai 633 ribu ekor sedangkan stok sapi yang tersedia 796 ribu ekor, sehingga ada surplus 163 ribu ekor. Stok ini akan mencukupi kebutuhan puasa dan hari raya keagamaan seperti Lebaran dan Natal. (dbs)

Selasa, 01 Februari 2011

Prospek Pasar Minuman Ringan di Indonesia

Pasar minuman ringan di Indonesia saat ini didominasi oleh air minum dalam kemasan (AMDK) yang memiliki market share 84% dari total pasar minuman ringan siap saji dalam kemasan. Sedangkan minuman ringan berkarbonasi cenderung stagnan.  

Ini dimungkinkan karena semakin banyaknya pilihan produk minuman. Minuman berkarbonasi saat ini meraih pangsa pasar sebesar 3,6%. Pertumbuhan minuman lainnya di luar AMDK (RTD Water) yang mencolok adalah minuman isotonik, minuman sari buah dan minuman beraroma buah.

Menurut data Euromonitor International, pada 2010 teh masih memiliki volume yang sama dengan minuman berkarbonasi, namun diperkirakan pada tahun 2011 dan seterusnya akan memiliki market share yang lebih tinggi.


Minuman ringan teh mempunyai market share sebesar 8,9% di tahun 2010, dan trennya akan terus berkembang. Apalagi muncul inovasi minuman teh dalam berbagai varian, seperti teh berkarbonasi, teh mengandung sari buah, antioksidan dan lainnya, seperti TEBS, Fruitea, Frestea, dan lainnya. 

Sementara itu, minuman ringan yang mengandung komposisi bahan untuk mengontrol berat badan dan membakar kalori (seperti L-carnitine, conjugated linoleic acid [CLA] dan ekstrak teh hijau) mengalami pertumbuhan luar biasa selama bertahun-tahun di Asia Pasifik sejak tahun 2006. 

Begitu juga dengan minuman formulasi untuk mendukung penampilan fisik seperti melalui penambahan kolagen, co-enzim Q10, lidah buaya dan lycopene. Apalagi didukung dengan iklan yang gencar.  Coca Cola misalnya, tahun lalu di Indonesia menambah koleksi Green Teanya menjadi dua varian, yaitu jeruk orange plus lidah buaya (aloe vera orange blossom) dan ginseng jahe (ginger ginseng).

Euromonitor Internasional melaporkan pertumbuhan volume penjualan jus buah/sayuran dan teh RTD mencapai 54% dan 44% sepanjang 2005 hingga 2009. Sebaliknya, minuman karbonasi cola standar hanya tumbuh sebesar 14% pada periode yang sama. Sedangkan, minuman dengan klaim no calories atau sedikit gula (less sugar) memiliki peluang pasar yang terbuka lebar, termasuk minuman karbonasi less sugar atau no calories. 

Minuman yang dikonsumsi orang Indonesia
Hampir 38% penduduk Indonesia menyukai minuman panas, seperti hot tea, hot coffee,dan hot chocolate.  Sementara itu 12% menyukai iced tea drinks dan 50% sisanya mengonsumsi minuman siap saji dalam kemasan.  Sayangnya analisa ini tidak memperhitungkan air minum (baik dalam kemasan atau hasil proses rumah tangga), yang tentunya sangat besar (lebih dari 80%) seperti digambarkan pada grafik Gambar 2.

Pasar yang Menjanjikan
Pada tahun 2009, penduduk Asia Pasifik mengonsumsi lebih dari 131.267 juta liter minuman ringan kemasan dan memberikan kontribusi lebih dari 70% terhadap total volume pertumbuhan global, meskipun secara umum ekonomi dunia sedang mengalami penurunan pada tahun tersebut. Namun, untuk negara-negara berkembang seperti Cina, India, Indonesia dan Vietnam, konsumsi per kapitanya masih lebih rendah dibanding Negara-negara Eropa dan Amerika.

Bahkan untuk kawasan ASEAN pun tingkat konsumsi minuman ringan di Indonesia masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan Negara lainnya yang penduduknya jauh di bawah Indonesia. Di Indonesia konsumsi minuman karbonasi sebesar 33 liter per kapita, AMDK 53 liter perkapita,  sedangkan tingkat konsumsi minuman ringan lainnya lebih rendah lagi.  

Bandingkan dengan Thailand yang saat ini konsumsi minuman ringannya sudah mencapai 89 liter perkapita, Singapura 141 liter perkapita, Filipina 122 liter per kapita.  Tahun 2015, Indonesia menargetkan konsumsi rata-rata minuman ringan sebesar 100 liter perkapita.  Atau dengan kata lain jika pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2015 sudah mencapai 250 juta jiwa lebih, maka target dari produsen industri minuman ringan adalah konsumsi pertahun yang dapat dipasarkan sebanyak 25.250 juta liter.  

Suatu peluang yang masih terbuka lebar, mengingat masih rendahnya tingkat konsumsi minuman ringan Indonesia.

Peluang terbesar bagi pertumbuhan minuman ringan (siap saji) di untapped market adalah jumlah populasi remaja dan anak muda yang besar.  Kaum remaja dan anak muda merupakan populasi yang produktif dan berpotensi mempunyai tingkat disposible income yang meningkat.

Urbanisasi
Konsumen di negara-negara berkembang seperti Cina, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam mulai mencari minuman fungsional, baik untuk kesehatan maupun kecantikan.  Apalagi dengan adanya urbanisasi yang juga menjadi faktor pendorong meningkatnya permintaan terhadap pangan fungsional.  Gaya hidup perkotaan dengan tingkat kesibukan tinggi ternyata juga mendorong permintaan akan produk minuman yang praktis. 
Dalam pasar yang matang seperti Hong Kong, Jepang, Singapura dan Taiwan, konsumen menghendaki produk yang dapat memberi manfaat buat kecantikannya. Di Taiwan contohnya, Ya Deep Ocean Water meluncurkan minuman olahraga bernama EDF yang mengandung epigallocatechin gallate (EGCG, antioksidan yang terdapat dalam teh), air laut dalam, dan serat.    

Minuman ini diklaim dapat membantu pembakaran lemak dan meningkatkan efektivitas latihan seseorang.   Sementara itu di Cina, Suntory’s Black teh Oolong, yang merupakan minuman tanpa gula dan mengandung polifenol teh dalam konsentrasi tinggi diterima dengan baik di kalangan konsumen wanita Cina meskipun harganya mencapai $ 1,80 per 340ml botol - artinya sekitar 35% lebih mahal dibandingkan produk teh RTD standar.

Farchad Poeradisastra
Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...