WELCOME TO CONSUMEDIA INDONESIA BLOGSITE


Sabtu, 07 Desember 2013

General Economic Outline of Indonesia

Indonesia, currently the 18th-largest economy in the world, is experiencing remarkable economic growth. After the Asian Financial Crisis of the late 1990s halted a booming economy fostered by the Suharto government, Indonesian macroeconomic indicators started to come back on track in the mid 2000s.

Although the Asian Financial Crisis had disastrous consequences (especially on the poorer urban segments of society), important lessons have been learned too. The financial system for example, which to a large extent lacked supervision and transparency, was replaced by a system entailing more prudent fiscal policies in line with international economic standards, thus fostering integration with global markets. Moreover, the Asian Financial Crisis has been the catalyst for a process of political democratization and liberalization that continues up to the present.

Prudent financial macroeconomic policy is one reason why Indonesia was resilient to the global financial crisis of 2008-2009. Both public and private debt have fallen sharply (as a percentage of GDP), international reserves have grown fast and inflation has been under control. In combination with relative political stability and certain favorable demographic trends it provides opportunities for strong economic performance over the medium term. Regarding the longer term, the Indonesian government aims to be in the top six of largest global economies by the year 2030.

Another key element that accounts for Indonesia's recent economic growth is domestic consumption. In line with rising per capita GDP and low borrowing costs, Indonesia's private consumption is robust. It accounted for 56 percent of the country's economic activity in 2011 and future projections indicate that it is to grow further.

Despite such positive conditions Indonesia remains a complex country from a business, social and political perspective. We advise those that intend to invest in Indonesia to read our Risks of Investing in Indonesia page as one should be aware of matters that can negatively influence Indonesia's investment climate.

The table below shows recent results and future forecasts of important macroeconomic indicators. For a more detailed account on these indicators please visit the Macroeconomic Indicators page or click on the links in the table.

Sources: World Bank, IMF, Statistics Indonesia and CIA World Factbook

Composition of Indonesia's Economy: the three main sectors
The table below indicates a remarkable development during the last five decades in the percentage shares of the three main economic sectors (to wit agriculture, industry and services) with regard to Indonesia's Gross Domestic Product (GDP). Indonesia changed from being an economy that was highly dependent on agriculture into a more balanced economy in which the percentage share of manufacturing in the country's GDP quickly exceeded that of the agriculture sector.

This also indicates that Indonesia lessened its traditional dependency on primary exports, although it still remains relatively high today. It should also be underlined that all of these sectors underwent rapid expansion, despite the fact that its contribution to Indonesia's GDP fell (agriculture) or remained at a similar level throughout the indicated period (the services sector). For a more detailed account please click on one of the sectors in the table below.



  1965
  1980
  1996
  2010
 Agriculture
    51
    24
    16
    15
 (percent of GDP)
 Industry
    13
    42
    43
    47
 (percent of GDP)
 Services
    36
    34
    41
    37
 (percent of GDP)



  Indonesia's Economic Fact Sheet
Indonesia was an USD $850 billion economy in 2012
In 2012 private consumption accounted for about 55 percent of economic activity in Indonesia, partly due to low borrowing costs and rising GDP per capita
Per Capita GDP rose from USD $780 in 2000 to USD $3,540 in 2011
Exports account for around 20 percent of GDP. China, Japan, USA and India are Indonesia's largest export destinations
Around half of Indonesia's exports consist of commodities (in particular palm oil, coal and rubber)
In 2012 Foreign Direct Investment (FDI) in Indonesia jumped around 26 percent (to USD $29.5 billion) compared to 2011
Mining accounted for around 12 percent of gross domestic product in 2011

indonesia-investments.com

Senin, 02 September 2013

Membangun Pabrik Mie Instan Indonesia di Kazakhstan

Mie instan buatan Indonesia, terutama Indomie, sudah menjelajah ke berbagai belahan dunia. Ada keinginan Indonesia untuk berinvestasi membangun pabrik Indomie di Kazakhstan, yang merupakan salah satu ladang gandum di dunia ini. Terhadap keinginan Indonesia ini, pemerintah Kazakhstan menyambut baik.
Dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev, Presiden SBY menyampaikan sejumlah kerjasama yang akan digenjot, yaitu antara lain kerjasama di bidang pangan, kerjasama di bidang energi, dan kerjasama di bidang pariwisata. Dalam bidang pangan, SBY menyampaikan rencana melakukan investasi pembangunan pabrik mie instan Indofood di Kazakhstan.


"Kazakhstan merupakan produsen gandum dalam jumlah besar. Sedangkan Indonesia memiliki perjalanan panjang dalam membangun perusahaan mie instan. Karena itu Indonesia akan berinvestasi di sini (Kazakhstan-Red) untuk membangun pabrik mie instan," kata Presiden SBY saat melakukan jumpa pers bersama Presiden Nazarbayev usai pertemuan bilateral yang digelar di Istana Kepresidenan Ak-Orda, Astana, Senin (2/9/2013).

Tidak disebutkan secara detil berapa nilai investasi pembangunan pabrik mie instan yang akan dilakukan Indonesia di negeri pecahan Uni Soviet ini. Namun beberapa waktu lalu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa menyebutkan investasi Indonesia di negara ber-GDP perkapita US$ 15.000 ini akan bernilai total US$ 1 miliar. Namun, nilai ini tidak hanya untuk pembangunan pabrik mie instan saja, tapi termasuk untuk investasi di bidang lain, seperti farmasi, migas, perbankan, infrastruktur, transportasi, hingga manufaktur.

Menurut Hatta, perusahaan Indonesia yang akan masuk ke Kazakhstan antara lain PT Indofood Tbk, PT Pertamina (Persero), PT Indofarma Tbk, dan perusahaan swasta lainnya. Indofood akan mendirikan pabrik mie instan, Pertamina akan melakukan eksplorasi migas, Indofarma akan mendirikan pabrik obat, dan PT Multistrada Arah Sarana yang akan mendirikan pabrik ban dengan bahan baku karet didatangkan dari Indonesia. Investasi di Kazakhstan dianggap strategis untuk memanfaatkan pasar Eropa dan Rusia.

Terhadap keinginan Indonesia berinvestasi mendirikan pabrik mie instan, Presiden Nazarbayev pun menyambut baik. "Untuk rencana membangun pabrik mie instan, kami siap membantu," kata Nazarbayev. Pemerintah Kazakhstan juga akan berencana menambah investasi di Indonesia.

Secara geografis, Kazakhstan merupakan negara terbesar di bekas wilayah Uni Soviet yang memiliki kekayaan sumber daya alam, khususnya cadangan migas dan tambang lainnya, seperti uranium, tembaga, dan seng. Kazakhstan juga terdiri dari daerah pertanian luas yang menghasilkan gandum dan ternak.

Pembicaraan mengenai rencana dibangunnya pabrik mie instan Indonesia di Kazakhstan sebenarnya sudah dibicarakan pada April 2012 saat Presiden Nazarbayev berkunjung ke Indonesia. Ada kesepakatan antara Indonesia dan Kazakhstan untuk memperkuat kerjasama bilateral di bidang pengelolaan minyak bumi, pembangunan pabrik kendaraan, dan pembangunan pabrik mie instan.

Minggu, 18 Agustus 2013

Waralaba Gerai Minimarket Rajawali Ditawarkan 150 Juta, Berminat?

BUMN PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) menawarkan kerjasama waralaba minimarket rajawali. Bagi yang berminat hanya perlu menyiapkan dana Rp 150 juta dan lokasi tempat usaha.

Direktur Utama PT RNI Ismed Hasan Putro mengungkapkan beberapa pihak sudah berminat untuk membuka waralaba atas minimarket yang bernama Waroeng Rajawali. Pada bulan November tahun ini, Waroeng Rajawali siap diwaralabakan.


"Nanti November kita akan mulai waralabakan, masyarakat akan kita libatkan, mungkin bisa dipercepat jadi Oktober. Sudah 400-500 dari BUMN dan masyarakat yang memesan," kata Ismed saat peresemian Gerai Waroeng Rajawali di Hanggar, Pancoran, Jaksel, Jumat (17/8/2013).

Ismed mengungkapkan pihaknya hanya akan menyediakan produk-produk yang dijual. Peminat harus menginvestasikan uangnya sebesar Rp 150 juta dan menandatangani sebuah perjanjian yang berlaku selama 3 tahun. Lokasi diharuskan memiliki lebar minimal 10 meter dengan panjang yang tidak ditentukan.

"Kami hanya mengisi barang. Tempat dan perizinan mereka yang proses. Nanti kita setting tempatnya," katanya.

Persyaratan lain, lanjut Ismed harus tersedia tempat khusus menjual daging sapi, atau semacam lemari pendingin. Selain itu akan ada 1500 item produk yang akan dijual disatu gerai Waroeng Rajawali.

"Nanti ada 1500 item. Syaratnya juga ada ruang untuk showcase daging. Karena daging itu merupakan langkah kita membantu menstabilisasi harga," jelasnya.

Di luar waralaba, RNI berencana membuka 1500 gerai Waroeng Rajawali di seluruh Indonesia hingga bulan Juni tahun depan. Selain itu, RNI pun berencana untuk membuat Hipermarket, atau toko grosir besar minimal 1 toko di kota besar Indonesia. Dalam jangka pendek, Hipermarket akan dibuka di Hanggar Pancoran, di atas lahan seluas 3 hektar.



Kamis, 28 Maret 2013

Indonesia Pasar Potensial Bagi Industri Kosmetik

Kosmetik sangat identik dengan keindahan dan kesehatan tubuh dari ujung rambut sampai kaki. Bagi wanita, produk kosmetik selalu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, demi mendapatkan dan mempertahankan kecantikan dari waktu ke waktu. Inilah yang menjadi alasan mengapa wanita lebih banyak mengenal berbagai macam kosmetik untuk mereka gunakan setiap hari.
 
Kondisi ini dimanfaatkan menjadi peluang besar bagi produsen kosmetik. Jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, menjadikan Indonesia pasar yang menjanjikan bagi perusahaan kosmetik. Kendati mayoritas industri kosmetik membidik target konsumen utama kaum wanita, belakangan mulai berinovasi dengan produk-produk untuk pria.


Saat ini perkembangan industri kosmetik Indonesia tergolong solid. Hal ini terlihat dari peningkatan penjualan kosmetik pada 2012 sebesar 14% menjadi Rp 9,76 triliun dari sebelumnya Rp 8,5 triliun, berdasarkan data Kementerian Perindustrian.

 
Produk kecantikan dan perawatan tubuh global pada 2012 mencapai US$ 348 miliar, tumbuh tipis US$ 12 miliar dibanding tahun sebelumnya berdasarkan data Euro Monitor. Meskipun 2012 perekonomian dunia masih diwarnai krisis keuangan seperti yang terjadi di kawasan Euro, maupun perlambatan ekonomi China, produk-produk kecantikan bermerek terbukti masih dapat bertumbuh dengan solid. Produk kecantikan bermerek diprediksi tumbuh 6% tahun ini, lebih tinggi dari pertumbuhan produk kosmetik umum sebesar 4%.

 
Pertumbuhan volume penjualan kosmetik ditopang oleh peningkatan permintaan, khususnya dari konsumen kelas menengah.

Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi) memperkirakan tahun ini penjualan kosmetik dapat tumbuh hingga Rp 11,22 triliun, naik 15% dibanding proyeksi 2012 sebesar Rp 9,76 triliun.  Dari sisi ekspor, industri kosmetik ditaksir tumbuh 20% menjadi US$ 406 juta.
  
Ketua Umum Perkosmi Nuning S Barwa, mengatakan pertumbuhan volume penjualan kosmetik ditopang oleh peningkatan permintaan, khususnya dari konsumen kelas menangah. Pertumbuhan penjualan kosmetik juga didorong oleh tren kenaikan penggunaan kosmetik oleh kaum pria. “Dulu pria tidak tertarik membeli produk perawatan kulit yang maskulin, tapi sekarang ketertarikan mereka tinggi,” katanya.
 
Peluang pasar kosmetik di Indonesia masih sangat besar. Karena itu, produsen kosmetik nasional perlu memenuhi kebutuhan konsumen yang terus meningkat. Apalagi, Kementerian Perindustrian juga memberikan insentif untuk mendorong pengembangan industri komsetik di Tanah Air.

Menteri Perindustrian,
MS Hidayat mengatakan pemberian insentif tersebut dilakukan untuk meningkatkan daya saing, khususnya dalam menghadapi persaingan dengan produk impor.  Insentif diberikan kepada industri kosmetik antara lain dalam bentuk tax allowance dan pembebasan bea masuk atas impor mesin.

Dengan adanya insentif itu, pemerintah berharap industri kosmetik mampu berekspansi secara rutin untuk meningkatkan kapasias produksi. Menurut Hidayat, industri kosmetik juga perlu didorong dalam kemandirian bahan baku, khususunya bahan baku herbal. “Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dengan 30 ribu spesies tanaman obat, kosmetik, dan aromatik, terbanyak kedua setelah Brazil,” katanya.

Saat ini, industri kosmetik dalam negeri mendapat tantangan dengan peredaran produk kosmetik impor di pasar domestik. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan pasar domestik premium (high branded). Menurut data Perkosmi, tahun lalu penjualan kosmetik impor mencapai Rp 2,44 triliun, naik 30% dibanding 2011 sebesar Rp 1,87 triliun. Tahun ini, penjualan produk kosmetik impor diproyeksikan naik lagi 30% menjadi Rp 3,17 triliun. Peningkatan tersebut ditopang oleh kenaikan volume penjualan serta penurunan tarif bea masuk seiring perjanjian perdagangan bebas.
  
Wiyantono, Ketua Bidang Perdagangan Perkosmi, memperkirakan pertumbuhan pasar kosmetik impor tahun ini akan melewati pertumbuhan penjualan kosmetik lokal. Menurut dia, produk kosmetik impor masuk ke Indonesia umumnya melalui perusahaan skala kecil serta sistem pemasaran berjenjang (multilevel marketing). “Perusahaan besar seperti PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dan PT Mandom Indonesia Tbk (TCID) sudah memiliki unit produksi di sini,” katanya.  


Peluang Besar

Industri kecantikan nasional memiliki peluang yang besar di lingkup ASEAN. Hal ini ditunjukkan oleh masih rendahnya kontribusi penjualan ekspor dari perusahaan kosmetik yang hanya sebesar 18% terhadap penjualan total. Rendahnya kontribusi penjualan ekspor menunjukkan perusahaan kosmetik belum secara penuh berusaha mengupayakan penjualannya ke luar negeri.


Selain itu, faktor kesamaan iklim, sosial budaya, daya beli, berpotensi membuat konsumen ASEAN memiliki preferensi yang sama dengan konsumen Indonesia. Hal ini dapat menjadi pendorong produk kosmetik Indonesia dapat diterima dengan baik di pasar ASEAN.


Adanya pasar bebas ASEAN dan China (AC-FTA) yang akan berlaku pada 2015 selain dapat menjadi peluang pasar bagi industri kosmetik Indonesia, juga dapat menjadi tantangan karena adanya perjanjian ini membuat produk China lebih leluasa masuk ke pasar ASEAN. Hal ini berpotensi meningkatkan persaingan yang harus dihadapi pemain Indonesia.(dbs)


---------------------------------------------------------------------------------------- 
 

Rabu, 20 Maret 2013

Pemain Baru di Pasar Terigu Tahun Ini

Menurut Ratna Sari Loppies, Direktur Eksekutif Aptindo, lonjakan konsumsi turut mendorong masuknya pemain baru di industri terigu. 
Tahun ini, ada empat produsen tepung terigu baru yang siap meramaikan industri terigu nasional

Kendati hampir seluruh kebutuhan bahan baku gandum berasal dari impor, industri terigu tetap tumbuh subur di negeri ini. Terbukti, industri ini terus kedatangan pemain baru.

Data Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) menyebutkan, pada tahun 2013 ini, ada empat pemain baru yang akan meramaikan industri terigu nasional.


Mereka adalah PT Sarana Prima Makmur, PT Wilmar Flour Mills, PT Crown Flour Mills, dan PT Agrofood Makmur Mandiri. Rencananya, keempat perusahaan itu mulai beroperasi tahun ini.

Lokasi Pendirian pabrik terigu ini berbeda-beda. PT Sarana Prima Makmur mendirikan pabrik di Banjarmasin, PT Wilmar Flour Mills di Gresik, PT Crown Flour Mills di Tangerang, dan PT Agrofood Makmur di Mojokerto.

Saat ini, sudah ada 21 perusahaan yang meramaikan persaingan bisnis terigu nasional. Dengan bergabungnya keempat perusahaan ini, maka total pabrik terigu di Indonesia menjadi 24 unit.

Ketua Umum Aptindo, Franciscus Welirang mengatakan, masuknya keempatnya pemain anyar ini bakal mengerek kapasitas produksi terigu nasional.

“Saat ini, total kapasitas giling gandum mencapai 8,1 juta ton pertahun, dengan masuknya pemain baru, maka kapasitas akan di atas itu,” ujarnya saat berkunjung ke redaksi KONTAN, Kamis (14/3).

Sayang, pria yang akrab disapa Franky ini mengaku tidak tahu persis kapasitas produksi dari masing-masing pendatang baru tersebut. Bagitu juga dengan total investasi yang mereka siapkan.

Yang jelas, total investasi baru yang bakal mengalir kesektor ini akan terus bertambah. Soalnya, menurut data Aptindo, masih ada tujuh perusahaan lagi yang akan membangun pabrik terigu.

Beberapa dari mereka diantaranya PT Bungasari Flour Mills dan PT Murti Jaya. Mereka ini rencananya mulai beroperasi tahun 2014.

Pasar Terus Tumbuh
Kendati pemain kian banyak, Franky optimis, persaingan di bisnis ini tetap sehat lantaran pasar terigu nasional juga terus tumbuh. Pada 2012, misalnya, konsumsi terigu mencapai 5,5 juta metrik ton, tumbuh 7,6% dari tahun 2011.

Sekitar 92% dari jumlah konsumsi itu dipenuhi produsen lokal. Hanya 8% saja yang bersumber dari impor. Selain mengandalkan pasal lokal, produsen terigu juga getol mengekspor produk terigunya ke sejumlah negara.

Direktur Eksekutif Aptindo, Ratna Sari Loppies memprediksi konsumsi terigu tahun ini akan tumbuh lebih tinggi lagi dari tahun lalu. “Lonjakan konsumsi ini turut mendorong masuknya pemain baru itu,” kata Ratna.

Hingga saat ini, PT Bogasari Flour Mills masih menguasai pasar terigu nasional dengan pangsa pasar sekitar 51%. Adapun total kapasitas produksi Bogasari lebih dari 4 juta ton per tahun.


Indofood Bantu Kembangkan Ubi Jalar Gantikan Tepung Terigu

Dalam meneliti bahan alternatif pengganti tepung terigu, mahasiswa banyak mengembangkan ubi jalar. Komoditas ubi jalar menjadi bahan terfavorit mahasiswa dalam program diversifikasi pangan yang diadakan PT Indofood Sukses Makmur Tbk.

Kepopuleran ubi jalar juga tidak terlepas dari potensinya yang bisa menggantikan beras karena mengandung karbohidrat dengan indeks glikemik yang rendah.

"Pengembangan potensi pangan ini kita tekankan pada kearifan lokal untuk mengantisipasi krisis pangan," ujar Manager CSR PT Indofood Sukses Makmur Tbk, Deni Puspahadi kepada Tribun Jogja Minggu (23/6/2013).

Dalam kegiatan yang diadakan PT Indofood Sukses Makmur Tbk ini, pihaknya menyalurkan dana sebesar Rp 1,6 miliar untuk penelitian mahasiswa. Melalui program Corporate Social Responbility (CSR)-nya ini pihaknya mendorong mahasiswa untuk menciptakan bahan alternatif selain tepung terigu.

Tahun ini pihaknya mengalokasikan dana mahasiswa dan tim khusus. Setidaknya ada 235 proposal penelitian bidang pangan mahasiswa S1 untuk memperoleh bantuan dana penelitian yang mengangkat tema 'Penganekaragaman Pangan Melalui Pemanfaatan Aneka Tepung Komposit dengan Memaksimalkan Komoditas Lokal' ini.

Program ini memberikan bantuan penelitian kepada 51 proposal penelitian dari Mahasiswa dari 32 perguruan tinggi. "Jumlah ini meningkat dari tahun lalu yang hanya 224 proposal,"kata Deni.


Selasa, 12 Maret 2013

RNI Siapkan Dua Anak Usaha Go Publik

Ismet Hasan Putro
PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) tengah menyiapkan dua anak usahanya untuk 'melantai' ke bursa saham pada tahun depan. Direktur Utama RNI, Ismet Hasan Putro, mengungkapkan kedua anak usaha yang akan dibawa ke bursa saham itu ialah PT Phapros dan PT Perkebunan Mitra Ogan. 

Dia menjelaskan alasan membawa kedua anak usaha ke bursa saham adalah untuk memenuhi kebutuhan permodalan dan meningkatkan good corporate governance. "Kami sudah tunjuk konsultan untuk penjaminan emisi. Rencananya, 25% dari saham masing-masing perusahaan kita lepas. RNI tetap akan menjadi mayoritas," ungkap dia.

Phapros bergerak dalam bidang farmasi dan alat kesehatan, sementara Mitra Ogan bergerak pada usaha perkebunan sawit di Sumatra Selatan. Dana yang diharapkan Phapros dari IPO tersebut minimal 250 miliar rupiah.

Sebelum IPO, Phapros diharapkan menyelesaikan akuisisi PT Rajawali Banjaran, perusahaan produsen kondom dan sarung tangan plastik yang juga anak usaha RNI. Akuisisi horizontal itu diharapkan tuntas sebelum akhir 2013, untuk selanjutnya melakukan IPO.

Sementara itu, dana hasil IPO Mitra Ogan ditargetkan mencapai sekitar satu triliun rupiah yang akan digunakan antara lain untuk memperluas areal perkebunan. Dana tersebut akan digunakan untuk memperkuat dana internal perusahaan dalam upaya membuka lahan baru, penanaman sawit baru dalam 6-7 tahun ke depan.

"Nanti IPO akan melihat situasi pasar. Bisa saja tidak keduanya, tergantung antusiasme pasar, terutama terkait dengan sektor perkebunan dan farmasi," ujar dia.

Menggenjot Bisnis Retail
BUMN itu juga tengah merambah bisnis retail dengan membuka jaringan gerai pada tahun 2013 sebanyak 150 titik Rajawali Mart dan 100 unit Waroeng Nusantara. "Untuk tahap awal, jaringan gerai RNI akan dibangun di Jawa, Bali, dan Lombok. Sementara, hingga saat ini, sudah terdapat 15 gerai Rajawali Mart di Denpasar, Bali, dan 1 gerai Waroeng Rajawali di Jakarta," ungkap dia.

Rajawali Mart merupakan gerai seperti toko kelontong pada umumnya, sementara Waroeng Rajawali memiliki keistimewaan karena menjual produk-produk unggulan yang dimiliki oleh BUMN. "Kami juga bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia, di mana gerai tersebut dapat didirikan di setidaknya 48 stasiun kereta api," ujar Ismet.

RNI juga membuka peluang kerja sama dengan BRI, Pelabuhan Indonesia (Pelindo), PT Angkasa Pura, termasuk hotelhotel milik BUMN. Sebagai bisnis baru yang digeluti RNI, diharapkan selama tahun 2013 gerai Rajawali meraih pendapatan 5 miliar-10 miliar rupiah. (*)


Baca juga : RNI Targetkan 250 Gerai Retail di 2013

Kamis, 07 Maret 2013

2013: Barclay Mematok Target 30% Pangsa Pasar Lotion

Anak usaha PT Tempo Scan Pacific, Barclay Products pada tahun ini mematok target 30% pangsa pasar lotion pada 2013.

Olivia Lubis Jensen
PT Barclay Products meluncurkan produk terbarunya, Marina Hand Body Lotion UV White Ekstra SPF 15, pada 7 Maret 2013.

Acara peluncuran Marina Hand Body Lotion UV White Extra SPF 15 ini berlangsung di gedung Tempo Scan Tower, Jalan Rasuna Said kav 3-4, lantai 16. Dalam Jumpa Pers dan Talk Show ini menghadirkan pembicara Nina M. Yunianto (PT Barclay Product), dr M Rachadian Ramadhan (Gentur Cleft Foundation) dan Aktris cantik Olivia Jensen Lubis.

Marketing Director PT Barclay Product, Nina M. Yunianto dalam jumpa pers di sela peluncuran tersebut menyatakan, "Marina UV White Extra SPF 15 dapat membuat kulit tampak lebih cerah dan perlindungan extra yang akan menjaga dari pengaruh buruk sinar matahari dan merawatnya setiap hari. Fungsi SPF 15 sendiri adalah pelindung kulit yang optimal dari sengatan sinar UVB saat beraktivitas di tempat terbuka," ujarnya.

Ia menambahkan, Marina UV White Extra SPF 15 lebih sekedar dari perlindungan agar kulit tidak terbakar sinar Matahari saja. "Selain SPF 15, Marina UV White Extra SPF 15 juga mengandung PA+ sebagai proteksi terhadap radiasi UVA dan menghambat proses penggelapan kulit serta Biowhitetening Complex dari Yoghurt dan vitamin B3 yang kaya nutrisi untuk membantu mencerahkan kulit dari dalam," tambahnya.


Produk hand and body lotion merek Marina itu diusung sebagai produk utama perseroan dari total delapan merek milik Barclay. President Director PT Barclay Products Phillips Gunawan mengklaim pada 2012 Marina mencapai 27% pangsa pasar di kategori produk lotion di Tanah Air, kedua terbesar setelah produk lotion Unilever.

Menurut Phillips, saban tahun volume penjualan Marina tumbuh di atas pertumbuhan industri. Pertumbuhan volume penjualan industri lotion sendiri kurang dari 10%.

Lewat pertumbuhan pangsa pasar, Phillips menargetkan kontribusi pendapatan Marina terhadap total pendapatan perseroan turut membesar. Pada 2012, Marina menyumbang pendapatan sekitar 50% dari total pendapatan perseroan. Kontributor terbesar kedua yakni My Baby.

Untuk mencapai target pangsa pasar Marina sebesar 30%, perseroan, dibantu divisi pemasaran dan distribusi dari Grup Tempo, berencana menambah jumlah outlet di beberapa kota di Indonesia pada tahun ini. Sampai saat ini Grup Tempo memiliki 40 cabang pemasaran dan distribusi dari Banda Aceh hingga Jayapura.

Tak hanya di dalam negeri, Tempo Group sudah berancang-ancang menambah jumlah perwakilan di luar negeri. Menurut Phillips, penambahan perwakilan akan difokuskan di Asia Tenggara. Sayang, dia enggan membeberkan negara mana yang akan didatangi Grup Tempo. Hingga sekarang, perwakilan grup baru ada di Malaysia, Filipina, Nigeria, dan Afrika.

"Kontribusi penjualan di luar negeri terhadap total penjualan grup masih kecil. Tahun lalu masih 10%. Lewat penambahan perwakilan, kami harap kontribusi bisa lebih besar," kata Phillips.

Potensi pasar produk-produk Barclay Products di luar Indonesia, menurutnya, cukup besar. Ambil contoh Filipina, negara di Asia Tenggara dengan penduduk hampir 100 juta.

Tanpa menyebut angka, Phillips menargetkan kontribusi konsumen dan kosmetik terhadap total pendapatan grup pada tahun ini lebih besar dari 2012. Pada tahun lalu, pendapatan dari divisi konsumen dan domestik menyumbang 25% hingga 30% terhadap total bisnis Grup Tempo.

Perusahaan yang berdiri sejak 1953 itu memiliki tiga divisi bisnis, yakni farmasi, pemasaran dan distribusi, serta konsumen dan kosmetik. "Target tahun ini tidak mau sebutkan. Yang pasti lebih besar dari 2012," ujar Phillips.(*)

------------------------------------------------------------------------
.

Rabu, 06 Maret 2013

Indonesia 2020: 141 Juta Kelas Menengah

Jumlah kelas menengah dan orang kaya Indonesia berpotensi naik dua kali lipat menjadi lebih dari 141 juta orang pada 2020, demikian laporan yang dirilis oleh Boston Consulting Group (BCG). BCG adalah satu dari sejumlah perusahaan internasional yang optimis mengenai masa depan pertumbuhan ekonomi Indonesia.


Menurut BCG, dari 250 juta warga Indonesia, sekitar 74 juta orang kini menghabiskan uang lebih dari $ 200 (Rp 1,94 juta) per bulannya. Angka ini menjadikan mereka tergolong ke dalam kelas menengah atau kelas menengah atas. Jumlah ini diperkirakan meroket hingga 141 juta orang pada 2020.



Ini akan menjadi lonjakan terbesar di dunia, di luar Cina dan India. Menurut BCG, lebih dari 8 juta orang per tahunnya akan menjadi kelas konsumen seiring dengan tumbuhnya ekonomi Indonesia.

“Daya beli dan jumlah kelas menengah dan konsumen kaya di Indonesia terus meningkat, hal ini menjadikan Indonesia sebagai kesempatan emas baik bagi perusahaan lokal maupun korporasi multinasional dalam satu dekade mendatang,” ujar laporan tersebut.

Selain dari segi jumlah, kelas menengah Indonesia pun mulai menyebar di lebih dari 17.000 pulau di seluruh Indonesia. Meski Jawa masih terus mendominasi perekonomian Indonesia dan menjadi tempat sebagian besar kelas menengah, kelompok orang kaya dan kelas menengah atas baru akan bermunculan dari Papua hingga Sumatera.

Menurut perkiraan BCG, Indonesia saat ini hanya memiliki 25 kota atau daerah yang ditinggali oleh lebih dari 500.000 anggota kelas menengah dan kelas atas. Hal ini menjadi daya tarik bagi setiap perusahaan barang konsumsi yang tengah mencari pangsa pasar. Angka ini akan meroket menjadi 52 lokasi pada 2020, menurut estimasi BCG.

“Jika Anda memiliki perusahaan barang konsumsi, Anda akan menyaksikan pertumbuhan penting di daerah-daerah dengan populasi kelas menengah yang signifikan. Jadi Anda harus memastikan kehadiran Anda yang disokong oleh jaringan pasokan dan sumber daya manusia yang memadai,” ujar direktur pelaksana dan rekanan BCG Vaishali Rastogi kepada The Wall Street Journal.

Sementara itu, laporan BCG itu juga menyatakan bahwa kelas menengah Indonesia adalah yang kelompok paling optimis di dunia. Lebih dari 90% warga Indonesia yang disurvei BCG mengatakan mereka merasa aman dalam hal finansial. Angka itu jauh di atas 75% warga India dan hanya 54% warga Amerika Serikat yang mengaku aman secara finansial.

Kelas menengah yang sehat, bahagia dan terus bertumbuh adalah kunci penting bagi pertumbuhan dan stabilitas ekonomi Indonesia. Tak seperti negara-negara tetangganya, pertumbuhan ekonomi Indonesia disokong bukan oleh ekspor melainkan konsumsi domestik. 

Bertambahnya kelas menengah berarti jaminan bagi pertumbuhan ekonomi yang stabil. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai lebih dari 6% dalam lima tahun terakhir dan menurut perkiraan para ekonom, Indonesia akan terus mencatatkan pertumbuhan dengan persentase serupa. (*)

Baca juga : Perilaku Konsumen Kelas Menengah Indonesia Berubah

------------------------------------------------------------------------
.

Perilaku Konsumen Kelas Menengah Indonesia Berubah

Terjadi perubahan pola konsumsi kelas menengah di Indonesia. Hasil riset The Boston Consulting Group (BCG) menunjukkan gelombang konsumen baru kelas menengah ke atas atau Middle and Affluent Consumer (MAC) akan tumbuh dalam jumlah dan daya beli.

"Tren konsumsi bergerak dari produk untuk memenuhi kebutuhan dasar ke produk yang menawarkan kenyamanan  yang lebih besar," ujar Partner & Manager Director, BCG Singapore Vaishali Rastogi di Hotel Four Season, Rabu (6/3).

Perubahan ini didukung oleh kesadaran finansial oleh MAC. Kaum MAC merupakan generasi yang optimis memiliki kehidupan lebih baik daripada generasi sebelumnya. 




Tujuan ini menjadi titik penting dalam keputusan konsumsi suatu produk. Mereka kritis memilih produk unggulan, berdaya tahan tinggi dan fungsional. Produk tersebut juga harus bisa memenuhi kebutuhan keluarga, daripada kepentingan pribadi.

Pola belanja seperti ini terjadi merata hampir di seluruh Indonesia. Riset ini mencakup indikator demografi di tujuh pulau, 33 provinsi 99 kota dan 393 kabupaten. Di pulau Jawa sendiri nantinya akan memiliki jumlah kelas menengah lebih banyak dibandingkan dengan seluruh produk Thailand. Jumlah MAC di Indonesia  diproyeksikan meningkat dua kali lipat antara tahun 2012 dan 2020, dari 74 juta jiwa menjadi 141 juta jiwa.

Keputusan belanja kaum MAC tidak lagi didominasi iklan semata. Keluarga dan lingkungan sosial menjadi dorongan kuat untuk konsumen melakukan pembelian. MAC pun termasuk rajin melakukan perbandingan produk dengan menggunakan berbagai media termasuk internet. "Mereka mencari penawaran terbaik dari produk unggulan," ujar Partner dan Managing Director BCG Singapore, Dean Tong pada seminar Asia's Next Big Opportunity, Selasa (6/3).

Sebanyak 63 persen responden mengatakan mereka tidak menghabiskan uang untuk kebutuhan sendiri sebelum kebutuhan keluarga terpenuhi. Dibandingkan di Cina, hanya 46 persen konsumen yang memiliki perilaku seperti ini. 


Lalu saat memasuki segmen kelas menengah keatas, konsumenn rela mengeluarkan uang yang anggap lebih bernilai.Termasuk dalam kategori ini yaitu pendidikan, renovasi rumah, barang-barang yang tahan lama dan perawatan.

Manfaat fungsional dari sebuah produk juga menjadi salah satu pertimbangan utama. Misalnya, konsumen akhirnya membeli DVD player dan flat screen TV untuk menghemat uang pergi ke bioskop. Termasuk dalam hal ini, membangun rumah juga dipandang sebagai investasi jangka panjang.

Riset melibatkan 4000 responden dengan melihat pola belanja setiap orang. Responden berpenghasilan mulai di bawah Rp 1 juta (miskin) hingga lebih dari Rp 7,5 juta  (elit). Saat ini Indonesia memiliki 12 kota dengan lebih dari 1 juta MAC. Pada tahun 2012, jumlah populasi berlipat ganda menjadi 22 kota dengan lebih dari 1 juta orang. Kaum ini menyebar di kota besar seperti Palembang, Makassar, Batam, Semarang, Pekanbaru dan Padang. 

Penyebaran ini berguna untuk perusahaan yang menargetkan populasi kelas menengah atas. Hal ini terutama bagi perusahaan yang telah menjangkau 50 persen dari basis kelas menengah atas. Perusahaan jenis ini harus mengatur kekuatan penjualan dan jaringan rantai pasokan jika ingin mempertahankan tingkat jangkauan yang sama. 


"Mereka harus mendistribusikan barang untuk memenuhi permintaan di kota-kota kecil yang mungkin tidak menjadi perhatian sebelumnya," ungkap Presiden Direktur BCG Indonesia, Eddy Tamboto.(*)

------------------------------------------------------------------------ 

Menyoal Lonjakan Impor Bahan Pangan

Sebagai negara agraris negeri ini, memiliki tanah subur dan air yang melimpah, namun masih terus membutuhkan komoditas pangan impor. Jumlahnya terus melonjak sejak awal tahun 2013 ini. 


Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada awal 2013 impor beras sudah mencapai 46 ribu ton senilai US$ 22,9 juta. Impor jagung sebesar 335 ribu ton dengan nilai US$ 102 juta; kedelai yang menjadi bahan baku tahu dan tempe sebanyak 54 ribu ton senilai US$ 34 juta;  serta biji gandum dan meslin didatangkan 517 ribu ton atau senilai US$ 207 juta. 


Pasar di dalam negeri juga kebanjiran terigu impor 16 ribu ton senilai US$ 7 juta; gula pasir sebesar 3.860 ton senilai US$ 2,6 juta; gula tebu sebesar 297 ribu ton atau seharga US$ 155,9 juta;  bawang putih tercatat sebesar 23 ribu ton atau US$ 17,4 juta; serta tembakau sebesar 11 ribu ton atau senilai US$ 53,2 juta.

Yang sangat memprihatinkan adalah garam impor. Sebagai negeri dengan garis pantai mencapai 95.181 kilometer terpanjang nomor empat di dunia, Indonesia masih mengimpor garam sebanyak 156 ribu ton atau senilai US$ 7,7 juta.

Pemerintah berulang kali menegaskan impor pangan bukan merupakan kebijakan utama dalam mengatasi masalah pangan. Kebijakan impor pangan merupakan alternatif terakhir manakala produksi dalam negeri tidak mencukupi target kebutuhan nasional. Selain itu, dalam kondisi pasar bebas, kita tidak dapat dengan mudah menolak masuknya produk impor.

Persoalan saat ini adalah pemerintah tampaknya terlena dengan kebijakan alternatif.  Isi perut bangsa ini makin tergantung hasil pertanian negara lain. Padahal, Indonesia memenuhi syarat sumberdaya seperti lahan yang luas, iklim yang tropis, penduduk yang agraris, dan pasar yang besar. 

Patut dipertanyakan seberapa serius komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Impor pangan yang terus menerus memperlihatkan bahwa pemerintah selalu mengambil cara atau kebijakan gampang untuk menyelesaikan persoalan pangan. Pemerintah juga dapat dinilai tidak memiliki keinginan untuk membangun kedaulatan pangan sebagai persoalan mendesak.

Semestinya pemerintah secara bertahap mengurangi impor pangan seiring pembenahan sektor pertanian yang fokus pada komoditas dan lokasi, baik mengembangkan kawasan yang ada (existing) maupun kawasan baru. Kawasan sentra produksi tersebut mengembangkan komoditas strategis dan unggulan, yaitu komoditas pangan dan komoditas nonpangan Jenis komoditas strategis seperti padi, jagung, kedelai, dan tebu ditargetkan mencapai swasembada. 

Selama ini, strategi pemerintah dalam mengembangkan sektor pertanian boleh dikatakan “salah sasaran”. Fokus pemerintah sebagian besar pada pemberian subsidi, sementara aspek lain seperti mekanisasi dan modernisasi pertanian dan pembangunan infrastruktur pertanian terabaikan.  Irigasi banyak yang rusak dan sentra-sentra produksi sulit dijangkau karena kondisi jalan buruk. 

Ini menyebabkan investasi di sektor pertanian kurang menarik.  Realisasi nilai investasi di sektor pertanian pada 2008-2012 secara kumulatif total mencapai Rp 61,11 triliun, atau rata-rata Rp 12,2 triliun per tahun. Minimnya investasi di sektor pertanian pada gilirannya menyebabkan produksi pertanian sulit meningkat, sementara daya saing produk terus kalah dibandingkan komoditas pangan asing.

Untuk itu, semua elemen bangsa ini harus menyadari bahwa terlalu menggantungkan pemenuhan kebutuhan pokok kepada produk impor bisa menjadi bumerang dan mengancam kedaulatan bangsa. Jangan lagi mengabaikan sektor pertanian. Indonesia tidak akan bisa menjadi bangsa yang maju tanpa didukung kemandirian pangan nasional. (*)

------------------------------------------------------------------------
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...