WELCOME TO CONSUMEDIA INDONESIA BLOGSITE


Rabu, 06 Maret 2013

Menyoal Lonjakan Impor Bahan Pangan

Sebagai negara agraris negeri ini, memiliki tanah subur dan air yang melimpah, namun masih terus membutuhkan komoditas pangan impor. Jumlahnya terus melonjak sejak awal tahun 2013 ini. 


Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada awal 2013 impor beras sudah mencapai 46 ribu ton senilai US$ 22,9 juta. Impor jagung sebesar 335 ribu ton dengan nilai US$ 102 juta; kedelai yang menjadi bahan baku tahu dan tempe sebanyak 54 ribu ton senilai US$ 34 juta;  serta biji gandum dan meslin didatangkan 517 ribu ton atau senilai US$ 207 juta. 


Pasar di dalam negeri juga kebanjiran terigu impor 16 ribu ton senilai US$ 7 juta; gula pasir sebesar 3.860 ton senilai US$ 2,6 juta; gula tebu sebesar 297 ribu ton atau seharga US$ 155,9 juta;  bawang putih tercatat sebesar 23 ribu ton atau US$ 17,4 juta; serta tembakau sebesar 11 ribu ton atau senilai US$ 53,2 juta.

Yang sangat memprihatinkan adalah garam impor. Sebagai negeri dengan garis pantai mencapai 95.181 kilometer terpanjang nomor empat di dunia, Indonesia masih mengimpor garam sebanyak 156 ribu ton atau senilai US$ 7,7 juta.

Pemerintah berulang kali menegaskan impor pangan bukan merupakan kebijakan utama dalam mengatasi masalah pangan. Kebijakan impor pangan merupakan alternatif terakhir manakala produksi dalam negeri tidak mencukupi target kebutuhan nasional. Selain itu, dalam kondisi pasar bebas, kita tidak dapat dengan mudah menolak masuknya produk impor.

Persoalan saat ini adalah pemerintah tampaknya terlena dengan kebijakan alternatif.  Isi perut bangsa ini makin tergantung hasil pertanian negara lain. Padahal, Indonesia memenuhi syarat sumberdaya seperti lahan yang luas, iklim yang tropis, penduduk yang agraris, dan pasar yang besar. 

Patut dipertanyakan seberapa serius komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Impor pangan yang terus menerus memperlihatkan bahwa pemerintah selalu mengambil cara atau kebijakan gampang untuk menyelesaikan persoalan pangan. Pemerintah juga dapat dinilai tidak memiliki keinginan untuk membangun kedaulatan pangan sebagai persoalan mendesak.

Semestinya pemerintah secara bertahap mengurangi impor pangan seiring pembenahan sektor pertanian yang fokus pada komoditas dan lokasi, baik mengembangkan kawasan yang ada (existing) maupun kawasan baru. Kawasan sentra produksi tersebut mengembangkan komoditas strategis dan unggulan, yaitu komoditas pangan dan komoditas nonpangan Jenis komoditas strategis seperti padi, jagung, kedelai, dan tebu ditargetkan mencapai swasembada. 

Selama ini, strategi pemerintah dalam mengembangkan sektor pertanian boleh dikatakan “salah sasaran”. Fokus pemerintah sebagian besar pada pemberian subsidi, sementara aspek lain seperti mekanisasi dan modernisasi pertanian dan pembangunan infrastruktur pertanian terabaikan.  Irigasi banyak yang rusak dan sentra-sentra produksi sulit dijangkau karena kondisi jalan buruk. 

Ini menyebabkan investasi di sektor pertanian kurang menarik.  Realisasi nilai investasi di sektor pertanian pada 2008-2012 secara kumulatif total mencapai Rp 61,11 triliun, atau rata-rata Rp 12,2 triliun per tahun. Minimnya investasi di sektor pertanian pada gilirannya menyebabkan produksi pertanian sulit meningkat, sementara daya saing produk terus kalah dibandingkan komoditas pangan asing.

Untuk itu, semua elemen bangsa ini harus menyadari bahwa terlalu menggantungkan pemenuhan kebutuhan pokok kepada produk impor bisa menjadi bumerang dan mengancam kedaulatan bangsa. Jangan lagi mengabaikan sektor pertanian. Indonesia tidak akan bisa menjadi bangsa yang maju tanpa didukung kemandirian pangan nasional. (*)

------------------------------------------------------------------------
Comments
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...