WELCOME TO CONSUMEDIA INDONESIA BLOGSITE


Jumat, 22 Februari 2013

Minim Bahan Baku Produksi Susu Olahan Bisa Menurun

Produsen susu olahan di Indonesia memperkirakan akan kekurangan bahan baku menyusul penurunan produksi susu segar yang digunakan sebagai bahan baku industri pengolahan. 

Teguh Boediyana, Ketua Dewan Persusuan Nasional (DPN), mengatakan produksi susu segar domestik tahun ini berpotensi turun 10%-15% dibanding tahun lalu. 

Menurut Teguh, penurunan produksi susu segar karena peternak cenderung menjual sapi dalam bentuk daging, yang nilai jualnya lebih tinggi daripada diternakkan sebagai sapi perah. "Harga daging sapi naik signifikan, sapi perah peternak dijual untuk dipotong," kata Teguh. 

Produksi susu sapi segar domestik cenderung stagnan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, di kisaran 1.800 ton per hari. Stagnansi produksi terjadi karena Indonesia tidak memiliki lagi regulasi yang mengatur serapan produksi susu dalam negeri. 

Padahal, ketentuan soal penyerapan produksi dan pengaturan harga pernah diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional. "Tetapi pada 1997 ketentuan tersebut dilepas dan peternak dihadapkan pada perdagangan bebas," ujar Teguh. 

Selain itu, tingginya biaya produksi susu segar yang tidak diimbangi dengan kenaikan harga jual dan menyebabkan peternakan penghasil susu segar makin tertekan. Hal itu yang menjadikan peternak susu cenderung berpikir pragmatis dengan menjual sapi perah untuk dipotong. Untuk itu, Dewan Persusuan Nasional meminta pemerintah menaikkan harga jual susu segar sebesar 11,3% tahun ini.

"Kami ingin harga susu dinaikkan sebesar 11,3% menjadi sekitar Rp 4.300 per liter yang dijual petani ke industri pengolahan susu. Kami juga meminta ada standardisasi harga," kata Teguh.

Dia menambahkan, saat ini industri susu olahan sebagai pengguna susu segar masih bergantung impor. "Indonesia masih memiliki tingkat ketergantungan impor bahan baku susu hingga 75% dari total konsumsi susu olahan nasional," ujar Teguh. Total nilai impor bahan baku susu sekitar US$ 700 juta per tahun.

Enny Ratnaningtyas, Direktur Industri Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian, menilai sejumlah produsen susu olahan yang melakukan ekspansi sejak tahun lalu mengeluhkan kekurangan bahan baku. "PT Indolakto mengeluhkan kekurangan bahan baku sekitar 100 ton-200 ton per hari dan PT Garudafood Putra Putri Jaya butuh 50 ton per hari," ujarnya.

Kehilangan Peluang 
Teguh menambahkan kekurangan pasokan bahan baku membuat sejumlah produsen susu olahan terkendala dalam memenuhi pertumbuhan permintaan pasar. Padahal, pasar susu olahan di Indonesia masih tumbuh dan memiliki prospek cerah. Hal itu dapat dilihat dari konsumsi susu olahan di Indonesia yang saat ini masih tertinggal dibanding negara-negara ASEAN. Konsumsi susu di Thailand saat ini telah mencapai 28 liter per kapita per tahun, sementara konsumsi di Indonesia masih sekitar 10 liter per kapita per tahun. 

Meski pasokan bahan baku diperkirakan berkurang, produsen susu olahan tetap menargetkan pertumbuhan penjualan pada tahun ini. Peningkatan volume akan menjadi penopang target kenaikan penjualan produsen.
 
Sabana Prawiradjaja, Ketua Asosiasi Industri Pengolahan Susu (AIPS), mengestimasi nilai penjualan susu olahan meningkat 8%-10% menjadi Rp 35,82 triliun pada 2013 dibanding 2012. "Meningkatnya kesadaran akan kesehatan mendorong konsumsi susu tahun ini," ujar dia.

Sabana yang juga Direktur Utama PT Ultrajaya Milk Industry and Trading Company Tbk (ULTJ), mengatakan Ultrajaya menargetkan penjualan pada 2013 mencapai Rp 3,24 triliun, naik 19,8% dibanding proyeksi tahun lalu. "Peningkatan penjualan perseroan tahun ini mengikuti pertumbuhan industri susu nasional," kata Sabana.

Peningkatan penjualan juga didukung penambahan kapasitas produksi pabrik sebesar 20%-30% tahun ini. Setelah penambahan, kapasitas produksi Ultrajaya akan mencapai 360 juta liter-390 juta liter susu cair per tahun. Penambahan kapasitas produksi akan dibiayai dari alokasi belanja modal 2013 sebesar US$ 5 juta-US$ 10 juta.

Menurut Sabana, peningkatan volume penjualan akan mendorong pertumbuhan laba bersih perseroan tahun ini. Ultrajaya menargetkan laba bersih di 2013 naik 34% menjadi Rp 261,1 miliar secara tahunan. Hingga kuartal III 2012, Ultrajaya mencatatkan laba bersih mencapai Rp 174,4 miliar, meningkat 62% secara tahunan. Manajemen Ultrajaya menargetkan laba bersih di sepanjang 2012 mencapai Rp 192 miliar.(dbs)

Comments
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...