Kenaikan tingkat optimisme dan kepercayaan konsumen di Indonesia tahun ini akan memicu perang merek (brand war)  untuk menguasai pasar, menurut survei Credit Suisse. Persaingan merek  yang semakin ketat akan terjadi untuk merek lokal dan merek  internasional di segmen essentials dan discretionary. 
 "Tingginya ekspektasi tingkat optimisme dan kepercayaan konsumen  mendorong momentum merek untuk menguasai pasar sehingga memicu perang  merek," ujar Karim Salamatian, Head of Non-Japan Asia Consumer Equity  Research Credit Suisse.
Menurut dia, untuk memanfaatkan momentum tersebut, merek lokal dan  merek internasional akan meningkatkan promosi dan iklan secara  konvensional maupun digital. Credit Suisse mensurvei 14.000 konsumen di  delapan negara emerging economy, yakni Brasil, Indonesia, China,  India, Arab Saudi, Afrika Selatan, Rusia, dan Turki. Di Indonesia,  survei dilakukan terhadap 1.500 konsumen.
 Berdasarkan survei itu, responden di Indonesia lebih memilih merek asing untuk produk discretionary, sementara merek lokal disukai untuk produk essentials seperti fashion, produk kulit dan sepatu, serta parfum. Tahun ini, belanja konsumen untuk produk discretionary akan meningkat lebih tinggi dibanding produk essentials. Belanja produk discretionary mencakup produk kesehatan, otomotif, kosmetik, dan teknologi serta smartphone.
 Di sektor kosmetik, persaingan diperkirakan makin ketat tahun ini,  menurut asosiasi industri. Wiyantono, Ketua Bidang Perdagangan Persatuan  Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika Indonesia (Perkosmi), menilai  persaingan akan lebih ketat seiring kenaikan harga jual 10% yang  dilakukan produsen kosmetik lokal.
 "Kenaikan upah buruh, harga kemasan, dan tarif energi mendorong  kenaikan biaya produksi perusahaan kosmetik lokal pada tahun ini," kata  Wiyantono, Ketua Bidang Perdagangan Persatuan Perusahaan dan Asosiasi  Kosmetika Indonesia (Perkosmi) kepada wartawan. Dia mencontohkan, harga  plastik kemasan untuk kosmetik tahun ini naik berkisar 10%-20%.
 Menurut dia, biaya produksi kosmetik lokal tahun ini naik rata-rata 7%  akibat kenaikan sejumlah komponen produksi. Kenaikan biaya tersebut akan  dikonversi dengan menaikkan harga jual sebesar 10%.
 Persaingan  pasar kosmetik di Indonesia berasal dari produk-produk  impor, produk perusahaan asing yang memproduksi di Indonesia,  produk-produk impor yang sifatnya ilegal. Produk impor menguasai 13%  pasar kosmetik di Indonesia, dengan menjangkau segmen konsumen  middle-up. Produk-produk impor datang dari Amerika Serikat, Jerman,  Perancis, Jepang, hingga China.
 Sementara produksi kosmetik lokal menguasai 87% pangsa pasar domestik  dengan mencakup produksi oleh produsen Indonesia, seperti PT Mustika  Ratu dan PT Martina Berto, maupun produksi oleh  perusahaan asing seperti PT Unilever Indonesia, PT Procter  & Gamble Indonesia, PT L’Oreal Indonesia, hingga PT Mandom Indonesia.
 Pangsa pasar perusahaan asing ini cukup besar, dengan menawarkan  produk-produk yang sifatnya modern. Untuk Unilever saja, terdapat produk  skin cleansing, face care, dan hair care dengan  merek-merek terkenal seperti Citra, Vaseline, Pond’s, Dove, Clear, dan  Sunsilk. Sementara produk Mandom juga cukup kuat di pasar, dengan  merek-merek seperti Gatsby, Pixy, dan Pucelle. L’Oreal dan P&G  bahkan memasarkan hingga 300 jenis produk kosmetik di Indonesia.
  Produk-produk impor ilegal, khususnya dari China, juga mengambil  porsinya sendiri dalam pasar kosmetik Indonesia seiring pemberlakuan  sistem notifikasi secara online oleh pemerintah. Agar dapat  bersaing, perusahaan kosmetik lokal, baik yang sifatnya usaha menengah  kecil maupun perusahaan yang skalanya cukup besar, seperti Mustika Ratu  dan Martina Berto, perlu mengembangkan daya saing produk dengan mampu  menangkap tren konsumsi oleh konsumen saat ini. (dsb)
