WELCOME TO CONSUMEDIA INDONESIA BLOGSITE


Jumat, 08 Februari 2013

Era Kebangkitan Kopi Indonesia

Walaupun saya bukan peminum dan pecinta kopi sejati, tetapi ketika mendengar info terbaru bahwa Indonesia sudah menjadi negara ketiga terbesar penghasil kopi di dunia, membuat saya bangga setengah mati. Indonesia yang tadinya berada diposisi empat, kini menempati urutan tiga menyalip Kolombia. Dimana urutan pertama masih dipegang Brazil dan disusul oleh Vietnam.

Peningkatan produksi tersebut, tentunya dipicu akan besarnya permintaan kopi Indonesia baik di dalam ataupun di luar negeri. Tetapi, apakah dengan banyaknya produksi berarti konsumsi kopi masyarakat Indonesia pun meningkat? Sayangnya tidak, “Konsumsi kopi orang Indonesia hanyalah 0,900 Kg per kapita, sedangkan negara Skandinavia bisa mencapai 12 kg per kapita, sedangkan Italia, Denmark, Norwegia dan Islandia bisa mencapai 10 Kg”, ungkap ibu Tuti Mochtar, Direktur PT.Santino.

Walaupun kebiasaan ngopi sudah dilakukan sejak dulu, namun habit menikmati kopi single origin (kopi premium) belum terlalu besar dan tidak menjadi budaya kita. “Mungkin karena dari dulu kita sudah terbiasa mencicipi kopi yang tidak enak, sedangkan kualitas terbaik dikirim oleh penjajah ke negara mereka”, ungkap Tuti.

Seiring perkembangannya, kecintaan masyarakat Indonesia akan kopi Indonesia (khususnya single origin) mulai meningkat. Tidak bisa kita pungkiri bahwa perkembangan tersebut naik berawal dari munculnya coffee shop asal luar negeri ke pasar ke Indonesia. Kemunculan coffee shop luar negeri tersebut menciptakan gaya hidup baru dan memancing pertumbuhan coffee shop lokal. Bahkan ada beberapa coffee shop yang hadir dengan mengusung penggunaan 100% kopi Indonesia asli.

Pengetahuan beberapa kalangan akan jenis kopi pun juga meningkat, beberapa nama jenis kopi seperti Flores, Linthong, Lampung, Bali Kintamani dan Papua mulai dikenal dan ditawarkan. “Dulu orang asing hanya mengenal kopi Sumatera dan Toraja saja, bahkan tanpa tahu dimana letak Sumatera dan Toraja tersebut”, tambah Tuti.

Senada dengan Tuti, Mira Yudhawati selaku Marketing Manager dari PT. Java Arabica (Caswell’s) pun menanggapi, “Dulunya orang bertanya kopi itu yang pertama adalah harga. Justru sekarang, orang mau mengeluarkan uang lebih untuk kopi yang berkualitas. Bahkan sekarang orang sudah mulai mencari tahu ke arah yang lebih spesifik berdasarkan daerah, padahal dulu pengetahuannya cuma, ini Robusta apa Arabica?”, ungkapnya

Minimnya pengetahuan mengenai kopi juga berlaku pada petani Indonesia yang merupakan ujung tombak di bisnis ini. Rendahnya pengetahuan menyebabkan kualitas kopi menjadi tidak stabil dan dengan hasil yang buruk, otomatis berdampak pada tingkat kesejahteraan pada profesi petani. Alhasil menjadi petani kopi tidak menjadi populer di kalangan generasi muda.

Itulah yang menyebabkan kita berbeda dari produsen kopi lain yang lebih maju. Hal ini bisa jadi dikarenakan kurangnya sosialisasi dari pemerintah akan profesi tersebut, atau bisa jadi karena kurangnya dukungan pasar terhadap petani. “Kenapa petani asing menghasilkan kopi yang lebih baik dan konsisten? Karena petani mereka well educate. Kalau petani well educate, otomatis mereka akan selalu konsisten dalam men-take care kopi. Walaupun hasilnya tidak selalu sama, tetapi perubahannya tidak akan terlalu signifikan”, ungkap Mira.

Untungnya belakangan ini terdapat beberapa lembaga NGO asing ataupun SCAI (The Specialty Coffee Association Indonesia) yang hadir memberikan program pelatihan, dan bertujuan untuk membantu petani baik dari cara tanam, proses dan lain-lain. Pelatihan tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas kopi, meningkatkan kesejahteraan petani dan menumbuhkan minat generasi muda untuk menjadi petani kopi.

Dari hasil pelatihan tersebut, beberapa tahun belakangan ini mulai banyak anak muda yang mulai tertarik untuk menjadi petani kopi, seperti di daerah Jawa Barat, Aceh, Toraja dan daerah lainnya. “Petani sekarang sudah berusaha menghasilkan kopi dengan kualitas yang bagus, padahal kebanyakan dari petani kita hanya memiliki alat-alat sederhana tidak seperti petani di negara lain. Banyak juga NGO luar negeri memberikan edukasi untuk membantu perkembangan petani Indonesia menghasilkan kualitas kopi lebih baik”, ujar Tuti.

Faktor peningkatan perkembangan industry kopi Indonesia pun semata-mata tidak hanya kita lihat pada peningkatan penjualan green bean dan single origin semata. Kopi sachet pun juga turut andil dalam memajukan kesejahteraan petani, memperkenalkan kopi Indonesia, serta meningkatkan devisa negara. Tidak dipungkiri bahwa pasar terbesar bisnis kopi di Indonesia adalah kopi sachet atau kopi instan, bahkan beberapa brand juga hadir mewarnai pasar dunia.

Perkembangan bisnis kopi yang cukup menjanjikan tersebut, membuat beberapa pemain yang dulu hanya bermain di kopi sachet saat ini mulai menggarap pasar kopi premium. Ambil contoh Excelso yang juga membuka cafe dengan nama yang sama merupakan garapan dari produsen kopi Kapal Api. Lalu ada juga kopi Torabika yang juga membuka cafe dengan nama yang sama dengan brand kopinya. Belum lagi pemain baru seperti Wings Food yang belum lama ini merilis brand kopi barunya, Top.

Berkat perkembangan yang positif tersebut, membuat Tuti Mochtar menilai bahwa Industri kopi Indonesia 5 tahun ke depan masih terus menjanjikan. Baginya, baik itu single origin ataupun kopi sachet semuanya sama saja. Yang terpenting adalah mampu mengangkat nama baik Indonesia di kancah dunia. “Satu hal yang lebih penting lagi, semua orang di Industri kopi harus saling membantu dan jangan hanya terfokus akan keuntungan semata”, tutupnya.

foodservicetoday
Comments
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...